Respons kubu Harvey Moeis usai hukuman diperberat jadi 20 tahun, kritik hukum yang mati
  1. Home
  2. »
  3. Serius
14 Februari 2025 10:10

Respons kubu Harvey Moeis usai hukuman diperberat jadi 20 tahun, kritik hukum yang mati

Pengacara Harvey Moeis menilai hukuman 20 tahun tidak adil dan melanggar prinsip hukum. Editor
foto: Instagram/@sandradewi88

Upaya banding terhadap vonis Hravey Moeis telah diterima, dan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat hukumannya menjadi 20 tahun penjara. Hal ini tentu menimbulkan reaksi dari kuasa hukum Harvey, Junaedi Saibih, yang merasa tidak terima dengan keputusan tersebut.

Menurut Junaedi, beratnya hukuman yang dijatuhkan kepada kliennya tidak sebanding dengan hukuman yang diterima oleh pihak lain, seperti Helena Lim, yang vonisnya hanya diperberat dari 5 tahun menjadi 10 tahun penjara, ditambah denda Rp 900 juta.

BACA JUGA :
Bak kamar presidential suite hotel bintang 5, 11 potret kamar tidur Helena Lim ini fasilitasnya mewah


"Helena membayar uang pengganti 900 juta, sementara barang yang disita melebihi nilainya. Ini jelas menyalahi kaidah hukum," ungkap Junaedi dalam keterangan yang diterima pada Jumat (14/2/2025).

Junaedi menilai, putusan Pengadilan Tinggi Jakarta ini mencerminkan hilangnya prinsip rule of law, di mana hukum seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan, bukan sekadar keputusan politis.

"Telah wafat rule of law pada hari Kamis, 13 Februari 2025, setelah bocoran putusan Pengadilan Tinggi atas banding yang diajukan JPU terhadap putusan PN Jakarta Pusat," klaimnya.

BACA JUGA :
Rumah mewah Sandra Dewi ditaksir Rp 271 M, 7 potret hunian istri Harvey Moeis ini cozy bergaya Jepang

Dia menegaskan bahwa prinsip dan rasio hukum tidak boleh kalah oleh populisme yang tidak terarah. Junaedi juga berharap agar hukum dapat ditegakkan kembali dan ratio legis tidak boleh kalah dari ratio populis. "Akibat dari penggunaan ketentuan hukum yang salah adalah pembangkangan terhadap legalitas," kritiknya.

Junaedi juga meragukan bukti kerugian negara yang dituduhkan, yang konon mencapai Rp 300 triliun. "Pengadilan belum dapat membuktikan kebenaran klaim tersebut. Suap dan gratifikasi tidak ada, dan tidak ada kerugian aktual, apalagi kerugian BUMN yang bukan kerugian negara," ungkapnya dengan heran.

Dia juga mempertanyakan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan yang dijatuhkan kepada mantan Dirut PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi. Junaedi berpendapat bahwa denda seharusnya dihitung berdasarkan perhitungan faktual, bukan hanya berdasarkan pengeluaran PT Timah dalam kerja sama smelter tanpa menghitung keuntungan yang dihasilkan dari penjualan timah.

"Dalam laporan tahunan PT Timah, kerja sama smelter mencatat keuntungan Rp 233 miliar. Dari mana angka kerugian negara itu?" tanyanya menutup pernyataan. Sebagai informasi, Junaedi juga merupakan pengacara Mochtar Riza Pahlevi, yang juga menerima hukuman 20 tahun setelah putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta.

Source: liputan6.com / Nila Chrisna Yulika
Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang dengan bantuan Artificial Intelligence dengan pemeriksaan dan kurasi oleh Editorial.

SHARE NOW
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags