Brilio.net - Memiliki gelar dari universitas bergengsi sering dianggap sebagai tiket menuju pekerjaan impian dengan gaji tinggi. Namun, realitas di Indonesia membuktikan bahwa ijazah dari kampus ternama tidak selalu menjamin karier yang mudah.
Banyak lulusan dengan IPK tinggi justru mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang layak. Persaingan yang ketat, minimnya kesempatan, serta faktor koneksi sering kali menjadi hambatan utama.
BACA JUGA :
UGM tidak ada niat plagiat, begini alasan tim dosen sejarah copy-paste buku Peter Carey
Hal ini dialami oleh seorang wanita lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan IPK 3,94, yang kini bekerja sebagai Kaigo di Jepang. Dalam unggahannya di akun TikTok @mamamumujp, ia membagikan kisah hidupnya yang tidak sesuai dengan ekspektasi banyak orang.
“Mama kan lulusan UGM, kenapa mau kerja di Kaigo? Mama tuh IPK-nya 3,94. Bukan sombong, bukan apa. Tapi kenapa tetap milih kerja Kaigo?” ucapnya.
BACA JUGA :
Lulusan S2 UGM ini pulang kampung karena tak tega tinggalkan ortu, sulit dapat kerja, kini jualan ikan
foto: TikTok/@mamamumujp
Kaigo adalah pekerjaan di bidang perawatan lansia yang sangat dibutuhkan di Jepang. Dengan populasi lanjut usia yang terus meningkat, permintaan tenaga kerja asing di sektor ini pun semakin besar.
Keputusannya untuk bekerja di Jepang bukan tanpa alasan. Kondisi ekonomi keluarganya membuatnya harus berpikir realistis untuk mencari peluang yang lebih baik di luar negeri. Ia berasal dari keluarga sederhana yang harus berjuang keras demi pendidikan dan masa depan yang lebih baik.
"Buat jadi buruh di Jepang karena tentu, ekonomi keluarga. Orang tua mama itu kan bukan pejabat atau yang punya gelimang harta, atau punya privilege buat kita bisa hidup enak di Indonesia,” katanya.
Perjuangan orang tuanya untuk memberikan pendidikan terbaik tidaklah mudah. Mereka harus bekerja keras agar ia dan adik-adiknya bisa berkuliah di UGM, meskipun kampus tersebut merupakan universitas negeri.
“Buat nyekolahin mama di UGM, buat nyekolahin adik-adik mama kuliah di UGM pun susah payah. Padahal udah universitas negeri,” tambahnya.
foto: TikTok/@mamamumujp
Setelah lulus, ia menyadari bahwa mendapatkan pekerjaan layak di Indonesia tidak semudah yang dibayangkan, meskipun memiliki latar belakang pendidikan yang baik. Persaingan di dunia kerja semakin ketat, membuatnya harus menerima kenyataan bahwa gelar tinggi saja tidak menjamin masa depan.
“Mama harus lebih semangat, harus lebih berusaha. Nggak bisa mikirin masalah gengsi atau masalah lulusan UGM,” ujarnya tegas.
Baginya, mencapai kestabilan finansial di usia muda bukanlah hal yang mudah jika hanya mengandalkan pekerjaan di Indonesia. Ia ingin memiliki rumah sendiri dan tabungan yang cukup, namun dengan penghasilan yang ada, target tersebut terasa sulit dicapai.
"Mama bakal lama buat bisa nyampai tujuan mama. Yaitu misalnya punya rumah sendiri, punya tabungan di usia muda yang banyak. Sebulan nabung 2 juta. Terus bisa beli rumahnya kapan?" keluhnya.
foto: TikTok/@mamamumujp
Keputusan untuk bekerja di Jepang bukan hanya soal gaji, tetapi juga tentang keseimbangan hidup. Ia ingin tetap berkarier tanpa harus mengorbankan perannya sebagai seorang ibu. Dengan pekerjaan ini, ia bisa tetap dekat dengan anaknya sambil tetap memiliki penghasilan yang layak.
“Pendapatannya pun Alhamdulillah bisa tetap 2 digit per bulan. Jadi kayaknya mama masih nyaman untuk kerja sebagai Kaigo karena bisa kerja setengah hari sambil bisa rawat anak," tuturnya.
Usaha dan kerja kerasnya selama ini akhirnya membuahkan hasil. Ia berhasil mewujudkan impian yang sebelumnya terasa jauh dari jangkauan berkat ketekunan dan kegigihannya dalam bekerja.
“Alhamdulillah mama udah bisa beli rumah di Indonesia, udah bisa beli mobil sendiri. Walaupun masih banyak hal-hal berat yang harus dijalani, tapi disyukuri,” tambahnya.
foto: TikTok/@mamamumujp
Dari pekerjaannya sebagai Kaigo, ia memperoleh penghasilan sekitar 150.000 yen per bulan, sementara suaminya yang juga bekerja di bidang yang sama mendapatkan 260.000 yen, termasuk bonus. Jika dikonversikan ke rupiah dengan kurs sekitar Rp105 per yen, pendapatannya setara dengan Rp15,7 juta per bulan, sedangkan suaminya menghasilkan sekitar Rp27,3 juta per bulan.
Dengan total penghasilan 410.000 yen atau sekitar Rp43 juta per bulan, mereka bisa hidup lebih stabil secara finansial dibandingkan jika tetap tinggal dan bekerja di Indonesia. Pendapatan ini memungkinkan mereka menabung, memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan merencanakan masa depan dengan lebih baik.
Kisahnya pun mendapat banyak tanggapan dari netizen yang merasa relate dengan kondisinya. Beberapa netizen menyoroti sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia tanpa koneksi. Ada pula yang menyoroti ketimpangan sistem kerja di Indonesia.
"Relate banget, mama aku juga lulusan Unpad IPK lumayan gede, terus kerja Kaigo sebagai batu loncatan. Gen sandwich, ortu nggak punya apa-apa, udah kabur dari 2022," tulis akun @laoluria.
"Mbaknya pikirannya cerdas. Di Indonesia kalau nggak ada orang dalam, susah cari kerja. Sampai seorang presiden aja cariin kerjaan untuk anak-anaknya," komentar @sripambudiono.
"Yang pintar IPK tinggi tersingkir di luar negeri, yang IPK 2,3 malah jadi pejabat negeri," tulis akun @ranger.merah643.
"Ijazah Indonesia mah nggak berlaku karena setiap mau masuk kerja pun sangat susah. Lebih baik kabur dulu kalau ada pekerjaan yang lebih layak," ujar akun @imron.putra16.