Brilio.net - Mulai 1 Januari 2026, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan memberlakukan regulasi baru terkait asuransi kesehatan. Berdasarkan Surat Edaran OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025, masyarakat sebagai pemegang polis diwajibkan untuk menanggung sebagian biaya klaim asuransi kesehatan. Ketentuan ini menetapkan bahwa peserta asuransi harus membayar minimal 10 persen dari total klaim, dengan batas maksimum sebesar Rp300.000 untuk layanan rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap.
Penerapan sistem co-payment ini ditujukan untuk menciptakan efisiensi dalam pembiayaan layanan kesehatan jangka panjang, terutama di tengah tren inflasi biaya medis yang meningkat tajam — di Indonesia tercatat 2-3 kali lebih tinggi dari inflasi umum. Dengan diterapkannya kebijakan ini, diharapkan premi asuransi dapat menjadi lebih terjangkau, sekaligus membantu mengendalikan beban klaim secara berkelanjutan.
BACA JUGA :
Sudah 26 ribu pekerja kena PHK hingga Mei 2025, klaim JKP Naik
Meski begitu, kebijakan ini memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian pihak merasa keberatan karena adanya kewajiban menanggung sebagian biaya yang sebelumnya sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan asuransi. Namun demikian, skema co-payment bukanlah hal baru secara global; banyak negara telah menerapkannya sebagai strategi efektif dalam menjaga stabilitas industri asuransi kesehatan dan mengendalikan lonjakan klaim.
Berikut ulasan lengkapnya, yang dihimpun brilio.net dari berbagai sumber, Senin (9/6).
Penjelasan skema co-payment
BACA JUGA :
Heboh iuran BPJS kesehatan naik, Menkes Budi Gunadi beri penjelasan
Co-payment adalah mekanisme pembagian risiko antara perusahaan asuransi dan pemegang polis, di mana nasabah membayar sebagian kecil dari biaya klaim. Skema ini bukan hal baru dan sudah banyak diterapkan di asuransi kesehatan korporasi maupun di negara lain. Tujuannya adalah untuk mengurangi klaim berlebihan dan menjaga premi tetap stabil.
Manfaat bagi masyarakat dan industri asuransi
Dengan adanya co-payment, premi asuransi kesehatan diharapkan menjadi lebih terjangkau karena risiko klaim dapat dibagi. Hal ini juga membantu perusahaan asuransi mengelola risiko dan menjaga keberlanjutan produk asuransi kesehatan di tengah lonjakan biaya medis yang tinggi.
Batas maksimum co-payment dan pengecualian
Besaran co-payment dibatasi maksimal Rp300.000 untuk klaim rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap. Selain itu, produk asuransi mikro yang menyasar masyarakat berpenghasilan rendah dikecualikan dari aturan ini, sehingga tetap memberikan perlindungan tanpa beban tambahan bagi kelompok rentan.
Efisiensi dan pengendalian inflasi medis
Inflasi medis di Indonesia sangat tinggi, mencapai 16,2 persen secara gross pada 2025, jauh di atas inflasi umum. Aturan ini diharapkan dapat menekan kenaikan biaya kesehatan jangka panjang dengan cara berbagi beban biaya antara nasabah dan perusahaan asuransi.
Persiapan masyarakat menghadapi aturan baru
Masyarakat disarankan untuk memahami skema co-payment dan menyesuaikan anggaran kesehatan mereka. Memilih produk asuransi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan finansial juga menjadi kunci agar tetap terlindungi tanpa merasa terbebani secara berlebihan.
Mengnai dampaknya bagi masyarakat, berikut ulasan ringkasnya agar mudah dipahami dan dapat lebih bijak dalam menerima informasi baru.
1. Masyarakat harus menanggung sebagian biaya klaim
Pemegang polis diwajibkan membayar minimal 10 persen dari total klaim dengan batas maksimal Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap. Ini berarti saat mengajukan klaim, nasabah tidak lagi mendapat penggantian penuh dari asuransi, melainkan harus ikut menanggung sebagian biaya berobat.
2. Beban finansial langsung pada saat klaim meningkat
Skema ini tentu menambah beban pengeluaran langsung masyarakat ketika berobat, terutama bagi yang sering menggunakan layanan kesehatan. Meski demikian, besaran co-payment dibatasi agar tidak memberatkan secara berlebihan.
3. Mendorong kesadaran dan pemanfaatan layanan kesehatan yang lebih efisien
Aturan ini diharapkan dapat mengurangi overutilization atau pemanfaatan layanan medis secara berlebihan yang selama ini menjadi masalah di ekosistem asuransi kesehatan. Dengan ikut menanggung biaya, masyarakat diharapkan lebih bijak dalam menggunakan layanan kesehatan.
4. Potensi premi asuransi menjadi lebih terjangkau dan stabil
Dengan adanya co-payment, premi asuransi kesehatan bisa lebih terkendali dan cenderung tidak naik secara drastis. Hal ini karena risiko klaim dibagi antara perusahaan asuransi dan nasabah, sehingga premi diharapkan tetap affordable bagi masyarakat.
5. Perlu edukasi dan sosialisasi bagi masyarakat
Agar aturan ini berjalan efektif dan tidak menimbulkan kebingungan, edukasi kepada pemegang polis sangat penting. Masyarakat perlu memahami bahwa co-payment adalah bagian dari prinsip gotong royong dalam asuransi dan bertujuan menjaga keberlanjutan produk asuransi kesehatan.
6. Penolakan dari sebagian konsumen
Beberapa kelompok konsumen menilai aturan ini kurang adil karena mengurangi hak pemegang polis dan menambah beban finansial mereka. Namun, OJK dan pelaku industri menegaskan bahwa aturan ini penting untuk menjaga keberlangsungan industri asuransi kesehatan di tengah inflasi medis yang tinggi.